Konflik Sektarian New Delhi dan Corona; Merawat Iman, Imun dan Mental

Konflik Sektarian New Delhi dan Corona; Merawat Iman, Imun dan Mental

Ada dua isu penting yang menjadi perhatian global, setidaknya dalam dua bulan terakhir. Pertama, kerusuhan antar pemeluk agama Hindu dan Muslim di New Delhi, India. Kedua adalah penyebaran Virus Corona. Hingga artikel ini ditulis, Pandemi Corona telah melanda 64 negara termasuk Indonesia. 

Artikel ini ditulis untuk mengupas bagaimana sikap Muslim Indonesia terhadap konflik agama di India dan virus Corona yang juga melanda Indonesia dalam dua minggu terakhir. 

Dua isu tersebut penting untuk dipahami agar masyarakat tidak terprovokasi dan termakan berita palsu. Penulis tidak bermaksud agar kita bersikap pasif, diam dan seolah tak peduli khususnya pada masalah Muslim-Hindu di India, melainkan agar Muslim Indonesia lebih bijak dan jernih  melihatnya, bahwa konflik horisontal ini dapat diselesaikan secara diplomatis; antara pemerintah Indonesia-India.

Begitu pula terkait virus Corona, bila diperhatikan seksama ada beberapa pihak yang memanfaatkan isu ini untuk menebar rasa takut atau sebaliknya. Misalnya, sebagian pihak yang menyebut virus Corona adalah tanda-tanda hari akhir (kiamat) yang dibalut dengan dalil-dalil. Bila warning tersebut sebatas petuah untuk ketaatan dalam ibadah, tentu tidak masalah, tetapi ketidaksesuaian antara dalil dan realitas inilah yang musti kita luruskan bersama. 

Muslim Indonesia-India: Kontra-Realitas.

Fitrah manusia adalah hidup dalam bingkai multi-etnis dan agama. Artinya, semenjak lahir Tuhan memberi anugrah realitas kehidupan yang multikultur dimana kita dipayungi oleh norma sosial dan agama untuk tetap hidup berdampingan, selaras dan harmoni dari pelbagai suku, etnis bahkan dari keyakinan yang berbeda.

Di Indonesia, Mayoritas-lah yang mengayomi kehidupan bernegara, Muslim sebagai mayoritas dapat merangkul dan memelihara keragaman realitas masyarakat. Meskipun kelompok Kiri seolah selalu berupaya menggiring opini dan citra bahwa Islam “Anti-NKRI, Anti-Kebinekaan” dan lain sebagainya. Perlu diketahui, di kalangan sarjanawan Barat (Orientalis) sekalipun dengan bangga menyebut Muslim Indonesia sebagai “Smailing Face” corak Islam ramah-tamah, karena terciptanya relasi dialogis dimana pemerintah mampu mengakomodir kepentingan semua pihak di sisi makroskopis, dan masyarakat Muslim yang memelihara totelransi dan keberagamaan  hingga dalam lingkup mikroskopik. 

Sebaliknya, di India justru mayoritas mengontrol penuh kekuasaan dimana transaksi politik musti dilegitimasi mayoritas pemeluk Hindu, sehingga potensi konflik horisontal terus terjadi. Bahkan, konflik tersbut kembali terulang bermula dengan adanya keputusan Presiden India Nath Kovind yang menyetujui RUU Kewarganegaraan (amandemen) yang mengecualikan Muslim asal tiga negara Bangladesh, Pakistan, dan Afghanistan untuk mendapatkan kewarganegaraan India. 

Amandemen Kewarganegaraan (CAA) telah menyulut konflik yang menewaskan puluhan warga dari kalangan Muslim. Jelas, ini adalah tindakan intoleransi dan ekstremisme yang dilatari ketidakmampuan kekuasaan dalam mewujudkan keadilan sosial. India sebaiknya belajar dari Indonesia bagaimana cara merawat persatuan, bahwa persatuan dalam bernegara harus diletakkan di atas dasar kemanusiaan, bukan agama. Ini berlaku bukan untuk India saja, melainkan bagi negara-negara yang kerap kali melakukan diskriminasi terhadap kelompok Muslim di negara manapun. 

Penulis menghimbau agar, umat Islam Indonesia tidak terprovokasi, tugas kita adalah menyelesaikan masalah melalui diplomasi. Pengesahan UU Kewarganegaraan yang menyudutkan kaum Muslim tersebut adalah tindakan bodoh atau bahkan biadab, tetapi bukan berarti respon kita dengan melakukan tindakan represif. 

Virus Corona akhirnya Melanda Indonesia 

sejak awal, Pemerintah berkilah bahwa Indonesia aman dari wabah Corona. Bahkan, pemerintah menepis hasil riset penyebaran virus ini. Sebelumnya, Mark Lipsicth, pakar Epidemologi yang menduga bahwa seharusnya Indonesia sudah ada lima kasus Corona, namun ditepis pemerintah. Riset pakar Epidemologi itu kini terbukti benar, belum genap satu bulan, jumlah kasus penderita Corona terus meningkat mencapai 69 kasus. 

Kondisi ini harus menjadi perhatian utama masyarakat, untuk tetap menjaga imun tubuh dengan mengonsumsi makanan yang sehat dan masyarakat tidak perlu khawatir dengan penyebaran virus ini. Dalam pandangan psikologi, kesehatan dapat dilihat dari dua aspek, yaitu jiwa dan rohani. Apabila jiwa kita baik, maka akan berdampak pula pada kesehatan tubuh kita. 

Akhir kata, himbauan dari penulis, untuk memperhatikan kebersihan lingkungan, mengonsumsi makanan yang sehat dan vitamin untuk menambah daya tahan tubuh. 

Artikel ini ditulis oleh Hendri Saleh & L. Wahyu Putra Utama, Dosen Fakultas Dakwah IAI Nurul Hakim