Covid-19 dan Kalkulasi Mikro Ekonomi Indonesia

Covid-19 dan Kalkulasi Mikro Ekonomi Indonesia

Ibarat sebuah simalakama, baru menginjak minggu ke tiga, Pandemi Corona sudah meresahkan semua pihak. Terutama pada sektor ekonomi, kita bisa lihat dari pelemahan nilai tukar rupiah terhadap kurs dollar mencapai 16.500 (25/3/2020). Tentu kondisi ini adalah lampu merah, sebab sektor ekonomi makro seperti perdagangan saham, harga bahan baku impor dan lainnya mengalami defisit. 

Sementara pada sektor mikro, terjadi pelemahan besar-besaran terutama pada sektor UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah). Kondisi ini dapat kita lihat pada pedagang kaki lima dan nelayan. Pada hari biasa, mereka dapat memperoleh income cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun, seiring makin parahnya penularan virus Corona, penghasilan mereka anjlok−dampak dari social distancing  penyebaran Covid-19 dan pemberlakukan slowdown.

Realitasnya. Setiap pelaku UMKM mayoritas memiliki hutang atau kredit. Saya melihat, Presiden selaku kepala negara, yang memberi perlindungan dan kepercayaan kepada pelaku usaha tidak dibarengi dengan regulasi nyata. Meskipun presiden mengatakan “memerintahkan pihak perbankan dan non-bank untuk tidak melakukan penagihan hutang kepada nasabah di bawah 10 Miliar”. Bagi saya, kebijakan ini hanya sebatas narasi saja. 

Kebijakan presiden mustinya dibarengi dengan langkah konkret dan ditujukan kepada seluruh sektor usaha  baik bank dan non-bank tanpa terkecuali, sehingga tidak terjadi pertanyaan yang meresahkan masyarakat. Sebenarnya apa maksud presiden ini, ditujukan untuk pelaku usaha yang mana? Karena pelaku UMKM bukan hanya berbicara sebatas nelayan dan ojek online, namun juga pedagang kaki lima yang memiliki kredit-kredit yang lain. 

Kita sedang menunggu waktu, apakah pidato presiden mampu menekan usaha non-bank untuk tidak melakukan penagihan. Sebab, dikhawatirkan dengan adanya lembaga keuangan non bank yang tidak mematuhi perintah presiden, karenan tidak dibarengi dengan regulasi yang jelas.

Selain itu, pada hari-hari ini, kita terpecah menjadi dua haluan. Yaitu mereka yang setuju dengan langkah kebijakan lockdown; cara paling efektif untuk mencegah penyebaran pandemi. Langkah ini juga telah diambil oleh Prancis, Italia dan Malaysia. Kenapa kemudian, pemerintah tidak memberlakukan upaya yang sama, padahal jumlah kematian akibat Corona di Indonesia terparah di Asia Tenggara? apakah pemerintah khawatir atau takut ekonomi negara akan ambruk?

Bagi saya, kita harus memandangnya secara parsial, artinya pemerintah memiliki data dan pertimbangan yang matang. Harus di pahami, Indonesia berbeda dengan Italia, China dan Malaysia. Kita memiliki budaya yang kuat, sehingga pemberlakuan lockdown, dirasa belum saatnya. Saya memperhatikan, ada kekhawatiran yang begitu besar dari pihak pemerintah dalam mengambil kebijakan, sebab apabila lockdown diberlakukan, dipastikan ekonomi Indonesia berada di ujung resesi. Buktinya, dalam satu pekan saja, IHSG menyentuh posisi terendah sejak delapan tahun terakhir (Selasa, 24/03/2020).

Apa yang harus kita lakukan?

Langkah yang bisa masyarakat lakukan adalah mentaati himbauan pemerintah, artinya kita telah berupaya bersama dalam mencegah penyebaran wabah Corona dan kita selalu optimistis ekonomi akan segera membaik. Di balik badai, ada pelangi, hari-hari ini kita sedang menghadapi badai yang melanda seluruh negara, bukan saja Indonesia. Jadi saya himbau agar kita saling merangkul dan percaya pada pemerintah bahwa masalah ini akan segera dapat teratasi.