Social Panic, Institusi Pendidikan dan Upaya Mendisiplinkan Masyarakat

Social Panic, Institusi Pendidikan dan Upaya Mendisiplinkan Masyarakat

Masyarakat kita sedang stress, tertekan dan takut akibat dari pandemi Corona. Level pandemi sudah lampu merah, lonjakan jumlah pasien tak terkendali. Hingga artikel ini ditulis (26/3/2020) terdapat 790 kasus dan 58 orang di antaranya meninggal dunia. Pantas, masyarakat luas sudah merasa cemas dengan situasi ini. Di beberapa kota, rutinitas masyarakat dibatasi, sebagai respon untuk mencegah penyebaran pandemi. 

Ada tiga kondisi masyarakat sebagai dampak dari virus Corona ini. Pertama, orang-orang yang didiagnosis positif, akan terjadi “pengucilan” yang dilakukan masyarakat, sebagai respon psikologis seolah Corona ini adalah wabah sangat berbahaya. Hal serupa pada penderita, bisa merasa tidak percaya diri karena terisolir oleh masyarakat. 

Kedua, adanya sikap ketidakterbukaan dalam diri penderita untuk mengungkap permasalahan yang dihadapi. Ketiga, adanya gejala obsesif dan gangguan mental yang menyebabkan penderita merasa tidak nyaman dan cemas. 

Pada level ini, Kecemasan akibat pandemi Corona masih dalam ambang normal, sebab pemerintah pusat dan daerah mampu berkoordinasi dalam menyuplai kebutuhan dasar masyarakat. Kita belum menghadapi keadaan terparah, seperti buying punic di negara-negara lain. Saya berharap, masyarakat kita tidak menghadapai kondisi serupa. Sekali lagi, dari sisi psikologis, masyarakat kita tidak akan menghadapi kondisi yang “brutal”.

Keadaan ini bisa dicegah, apabila kebijakan pemerintah terkait antisipasi penyebaran wabah Covid-19 memberi rasa aman terutama pada masyarakat. 

Apakah kebijakan pemerintah terkait upaya pencegahan pandemi sudah berjalan baik hingga saat ini? Saya melihat, kebijakan pemerintah belum maksimal terkait formulasi penanganan, karena di tingkat lokal sekalipun belum tersentuh, terutama distribusi alat deteksi Covid-19. Sehingga kondisi tersebut dapat menjadi stimulan psikologis “ketakutan massal”. 

Konteks Pendidikan

Bila dilihat dari sisi psikologi pendidikan, Pandemi Corona telah mengikis pakem normatif pendidikan berupa kekuatan emosional antara guru dan murid. Tentu dari sisi psikologis menjadi problematis di dunia pendidikan kita. Meskipun, di saat yang lain, metode daring, pembelajaran online harus dibiasakan sedini mungkin. 

Intinya, pada dasarnya pendidikan itu harus memenuhi kriteria dalam proses pembelajaran yaitu kognitif di mana peserta didik lebih mudah memahami dan mengerti akan proses uraian guru, apabila dilakukan komunikasi secara langsung sehingga pengembangan keilmuan  siswa akan lebih mudah. Dalam sisi afektif, tentu kita bisa lebih mudah melihat bagaimana perilaku dan sikap peserta didik. Kita akan kesulitan untuk melihat perilaku mahasiswa, bila sistem daring diterapkan. Sementara, dalam konteks psikomotorik, timbal-balik antara dosen dan mahasiswa jelas terganggu. 

Apa upaya kita untuk mencegah penyebaran pandemi Corona? 

Ada satu kunci penting yang perlu dipahami masyarakat yaitu kesadaran masyarakat dalam menyikapi wabah yang sedang melanda bangsa kita. Masyarakat hanya perlu mengikuti anjuran pemerintah dan sadar untuk hidup bersih. Dan di sisi lain, tetap membangun kesadaran religiusitas di mana agama secara psikologis memberi kita pengetahuan bahwa wabah yang melanda dunia merupakan ujian dari sang Pencipta.