Era Desrupsi dan Urgensi Kompetensi Multikultural Konselor

Era Desrupsi dan Urgensi Kompetensi Multikultural Konselor

Multikutural adalah suatu pandangan yang menyadari adanya perbedaan kelompok individu, dan melihat dunia dari berbagai aneka ragam budaya yang dibentuk oleh masyarakat sehingga akan menjadi keunikan tersendiri bagi kehidupan individu. 

Menurut Andre, multikulturalisme berkaitan dengan komponen masyarakat yang memiliki budaya yang beragam. Menurut istilah deskriptifnya, terkait dengan berbagai aneka ragam budaya yang diterapkan di suatu tempat tertentu, dan pada tingkat organisasi.

Secara normatif multikulturalisme merupakan kenyamanan masyarakat dengan adanya keanekaragaman yang ada di berbagai aspek kehidupan manusia berdasarkan harapan individu-individu untuk mengekspresikan identitas mereka berdasarkan cara yang mereka inginkan. Karena adanya keragaman budaya, maka seorang konselor yang efektif dituntut untuk mengembangkan sensitivitas terhadap perbedaan budaya antara konselor dan konseli.

Dalam pandangan Mufrihah, adabeberapa rumusan kompetensi multikultural konselor yang berkaitan dengan beberapa hal, yaitu: pertama, kesadaran pada keberagaman yang dimiliki siswa. Kedua, pemahaman terhadap terminologi multikultural. Ketiga, pengetahuan tentang berbagai macam budaya yang dapat berpengaruh terhadap siswa sebagai faktor pemicu yang akan menimbulkan konflik, pemahaman siswa terhadap nilai-nilai dan keyakinan budaya, berbagai praktik budaya, intervensi-intervensi dari kebudayaan lokal. Empat, serta memiliki kemampuan dalam menyelenggarakan layanan konseling yang adaptif budaya.

Karakter Peserta Didik di Era Digital

Implementensi dalam rangka memberikan penguatan pendidikan karakter saat ini sangat dibutuhkan. Karena anak-anak saat ini disebut generasi milenial, dimana interaksi mereka sangat banyak dipengaruhi melalui interaksi dan hubungan di dunia maya. 

Dapat dilihat fenomena yang ada bahwa anak-anak sekarang ini kebanyakan menghabiskan waktu untuk bermain games online dan berinteraksi dengan media gadget, seperti telepon seluler dan laptop. Kegiatan sehari-hari yang bersentuhan dengan teknologi ini lebih dianggap menarik di kehidupan sehari-hari anak, daripada berinteraksi dan berkomunikasi dengan teman sebaya di lingkungan rumah, bermain sepak bola, bersepeda dan melakukan aktivitas bermain lainnya. 

Menurut Putri, mengatakan ada beberapaciri-ciri generasi digital yaitu generasi digital semua rata-rata memiliki akun di media sosial untuk memberitahukan kepada seluruh dunia bahwa mereka ada dan dapat menunjukkan eksistensinya. Bahwa, generasi digital cenderung lebih terbuka dan bersikap lebih agresif. Selain itu, generasi digital memiliki keinginan untuk mendapatkan kebebasan. Tidak suka diatur dan dikekang serta ingin memegang kontrol untuk diri mereka sendiri serta sering menggunakan Google, Yahoo, atau situs lainnya untuk mencari informasi yang membuat kemampuan belajar mereka jauh lebih cepat. 

Urgensi Kompetensi Multikultural Konselor dalam Membentuk Karakter Peserta Didik

Era digital dapat mengikis karakter para peserta didik. Beberapa dampak yang sudah tidak asing kita lihat adalah berkurangnya interaksi secara langsung, berkurangnya komunikasi secara verbal, ancaman pornografi, seks bebas, anak cenderung agresif, dan anak-anak sudah terbiasa mendapatkan apa yang diinginkan secara instan. Melihat fenomena tersebut sudah seharusnya kita semua bergerak untuk mengatasi permasalahan tersebut dan merupakan tanggung jawab bersama antara para orang tua, pendidik, masyarakat bahkan bangsa dan negara dalam menjaga anak-anak bangsa yang akan menjadi generasi penerus bangsa nantinya.

Menanamkan nilai-nilai pendidikan karakter pada era digital ini sangatlah penting, agar dapat mencetak generasi penerus bangsa Indonesia yang bermoral baik. Dapat dikatakan bahwa generasi penerus akan mencerminkan kualitas bangsa itu sendiri. Apabila generasi penerusnya memiliki pengetahuan dan moral yang baik maka baik pula suatu bangsa tersebut. Maka dari itu diharapkan pihak keluarga, sekolah dan masyarakat bersama-sama mengemban tanggung jawab untuk mencetak dan mendidik generasi yang bermoral dan berakhlak baik (Putri, 2018). Setiawan (2017) juga mengatakan bahwa pendidikan harus menjadi sebuah media yang utama dan terdepan dalam memahami, mengusai, dan memanfaatkan teknologi dengan baik dan benar.

Ada perbedaan yang ada pada diri peserta didik sebaiknya dihadapi menggunakan pendekatan individual untuk mengembangkan kepribadian individu di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang sangat beragam. Perbedaan dan keragaman antar peserta didik akan digunakan untuk menjadi pertimbangan dalam menentukan layanan BK yang akan diberikan dan akan mengantarkan konselor pada konsep awal multikultural.

Menurut Jonesmenyebutkan ada sepuluh bagian keragaman yang terdapat pada hubungan konseling, yaitu budaya asal, ras, kelas sosial, disabilitas fisik, identitas peran gender, orientasi seksual, seks biologis, status pernikahan, usia, serta agama dan falsafah hidup. 

Pada sepuluh bagian keragaman yang telah disebutkan merupakan karakteristik kunci untuk konselor supaya memiliki kepekaan terhadap isu-isu etik layanan konseling multikultural yang akan membutuhkan kompetensi multikultural dari diri konselor. 

Kompetensi multikultural konselor menjadi  kompetensi yang harus dimiliki konselor dalam upaya mengatasi dan mencegah berbagai permasalahan yang terjadi di Indonesia dalam menjaga keutuhan bangsa dan memajukan pendidikan di Indonesia. Upaya yang dapat ditempuh untuk menanamkan karakter yang baik pada anak adalah melalui pemberian layanan konseling dengan pendekatan multikultural. Dimana di dalam layanan ini seorang konselor nantinya akan menggunakan kompetensi multikultural yang dimilikinya dalam menghadapi peserta didik yang beraneka ragam.

Artikel ini ditulis oleh Rizka Eliza Pertiwi, Dosen Fakultas Dakwah IAI Nurul Hakim