Upaya Menangani Dampak Psikologis Korban Bullying pada Anak Berkebutuhan Khusus
Negara telah menjamin bahwa setiap anak berhak mendapatkan pendidikan di sekolah. Melihat pentingnya pendidikan, maka semua pihak yang terlibat mengupayakan agar lingkungan sekolah terasa nyaman, aman, dan kondusif bagi siswa. Namun realitanya di lapangan masih banyak kasus bullying yang dialami oleh siswa.
Kasus bullying sering terjadi di lingkungan institusi pendidikan yang kerap menjadi permasalahan dan menimbulkan perasaan cemas bagi peserta didik. Mulai dari munculnya perilaku bullying yang paling sederhana berkata atau bertindak kasar, mencaci maki teman, mengolok-olok dan memberi julukan hingga perkelahian antar teman, dan lain-lain sampai pada tindakan kekerasan yang kompleks penganiayaan, perusakan fasilitas umum, melukai teman, bahkan sampai membunuh.
Salah satu kasusnya adalah dilansir (News.detik.com) menyatakan bahwa tersebarnya informasi lengkap dengan video di media sosial terkait aksi bully yang dilakukan kepada mahasiswa berkebutuhan khusus di salah satu kampus. Tentu ini sebuah peristiwa yang sangat disayangkan melihat tindakan bullying yang dilakukan oleh sekelompok orang tersebut.
Sangat disayangkan banyaknya kasus bullying yang dilakukan di sekolah inklusi, padahal sekolah inklusi merupakan sekolah yang menyatukan siswa normal dan siswa berkebutuhan khusus dalam kelas yang sama selama pemberian mata pelajaran oleh guru.
Konsep dan Faktor Penyebaba Bullying
Bullying merupakan tindakan dengan mengandalkan kekuasaan untuk menyakiti individu atau sekelompok orang baik secara verbal, fisik, maupun psikologis yang dapat membuat korban merasa tertekan, trauma, dan tak berdaya.
Menurut American Psychology Association, bullying merupakan bentuk perilaku agresif dimana seseorang dengan sengaja dan berulangkali menyebabkan orang lain cedera atau merasakan ketidaknyamanan. Bullying dapat berupa kontak fisik, kata-kata atau tindakan.
Bullying dapat disebabkan oleh perbedaan kelas (senioritas), ekonomi, agama, gender, etnisitas atau rasisme. Bullying juga dapat disebabkan oleh keluarga yang tidak rukun, situasi sekolah yang tidak harmonis, dan karakter individu atau kelompok seperti adanya dendam atau iri hati, adanya semangat untuk menguasai korban dengan kekuatan fisik, dan untuk meningkatkan popularitas pelaku di kalangan teman sepermainannya.
Peran Konselor terhadap Korban Bullying pada Anak Berkebutuhan Khusus
Melalui Pendekatan Konseling Multikultural
Prayitno dan Amti menjelaskan konseling merupakan suatu proses yang terjadi dalam hubungan tatap muka antara seseorang individu yang terganggu oleh karena masalah-masalah yang tidak dapat dihadapinya sendiri dengan seorang pekerja yang professional, yaitu orang yang telah terlatih dan berpengalaman membantu orang lain mencapai pemecahan-pemecahan terhadap berbagai jenis kesulitan pribadi.
Beberapa faktor dapat mempengaruhi jalannya proses konseling, salah satunya adalah faktor budaya. Dikarenakan seorang konselor nantinya akan berhadapan langsung dengan banyak konseli dari berbagai latar belakang budaya, tidak hanya satu kultur saja. Maka dari itu perlu bagi seorang konselor memiliki pemahaman dan wawasan yang luas untuk memahami latar belakang budaya konseli agar konselor dapat menerapkan teknik-teknik konseling sesuai dengan aspek budaya yang dianut oleh konseli.
Konseling/terapi lintas budaya dapat didefinisikan sebagai hubungan konseling di mana dua peserta atau lebih yang berbeda sehubungan dengan latar belakang budaya, nilai-nilai, dan gaya hidup.
Definisi lintas konseling budaya ini juga mencakup situasi di mana baik konselor dan klien adalah individu minoritas, tetapi mewakili kelompok minoritas yang berbeda. Jadi, konseling yang dilakukan oleh dua latar belakang budaya dinamakan konseling multikultural dan diharapkan konselor mampu mengadaptasikan teknik dan teori konseling dalam perspektif budaya dari konselingnya.
Anak berkebutuhan khusus merupakan bagian dari populasi khusus yang membutuhkan bantuan berupa layanan konseling. Jadi konselor harus memahami kekhususan tersebut sebagai sesuatu yang unik.Permasalahananak berkebutuhan khusus tidak hanya muncul dari dirinya sendiri, namun dari lingkungan juga.
Anak berkebutuhan khusus berupaya memenuhi kebutuhannya, sedangkan lingkungan sering tidak dapat memberikan peluang bagi mereka untuk dapat tumbuh serta berkembang sesuai dengan kondisinya itu. Maka tidak sedikit anak berkebutuhan khusus tidak mencapai perkembangan yang optimal.
Semakin bertambahnya permasalahan membuat mereka menjadi kelompok yang rentan “terpinggirkan” dari kehidupan sosial, politik, budaya, ekonomi, dan pendidikan. Seolah-olah mereka bukan bagian dari anggota masyarakat dan dianggap tidak membutuhkan hal tersebut. Sejatinya, anak berkebutuhan khusus adalah anggota masyarakat juga, sama-sama makhluk yang membutuhkan banyak hal sebagaimana manusia lainnya agar mampu mengisi kehidupannya secara mandiri sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya.
Mengenai kebutuhan layanan bimbingan dan konseling ini, Thompson dkk dalam bukunya Counseling Children: sixth ed. USA Broks/Cole Company menuliskan garis besarnya sebagai berikut:
- Anak harus mengenal dirinya sendiri
- Menemukan kebutuhan anak berkebutuhan khusus yang spesifik sesuai dengan kelainannya, kebutuhan ini muncul menyertai kelainannya
- Menemukan konsep diri
- Memfasilitasi penyesuaian diri terhadap kelainan
- Berkoordinasi dengan ahli lain
- Melakukan konseling terhadap keluarga anak berkebutuhan khusus
- Membantu perkembangan anak berkebutuhan khusus agar berkembang efektif, memiliki ketrampilan hidup mandiri
- Membuka peluang kegiatan rekreasi dan mengembangkan hobi
- Mengembangkan ketrampilan personal dan sosial
Pendidikan dan pemberian layanan diharapkan dapat membentuk kepribadian anak berkebutuhan khusus yang persisten, sehingga dapat bertahan dengan segala kekurangannya dan dapat mengatasi hambatan serta hidup secara wajar dan mandiri ditengah masyarakat dan lingkungannya.
Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk mendorong kepribadian anak berkebutuhan khusus adalah melalui pemberian layanan konseling dengan pendekatan multikultural. Pendekatan ini dapat diterapkan mengingat keunikan dan perbedaan karakteristik dan permasalahan yang dihadapi anak berkebutuhan khusus. Keunikan dan perbedaan tersebut dapat dianggap sebagai sebuah kultur, sehingga konseling multikultural merupakan salah satu pendekatan yang tepat untuk membantu anak berkebutuhan khusus dalam mengembangkan kepribadiannya.
Meningkatkan pemahaman multikultural dan sensitivitas budaya berarti menyeimbangkan pemahaman tentang kekuatan sosiopolitik yang mencairkan pentingnya ras, dan di sisi lain tentang kebutuhan kita untuk mengakui keberadaan kelompok lain, identitas yang terkait dengan kelas sosial, jenis kelamin, kemampuan / kecacatan, usia, afiliasi keagamaan, dan orientasi seksual .
Dalam pelaksanaannya maka diharapkan guru BK atau konselor sekolah dapat melakukannya dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu, pendidikan multikultural dan penguatan nilai karakter harus diberikan pada siswa.
Artikel ini ditulis oleh: Rizka Eliza Pertiwi, Dosen Fakultas Dakwah IAI Nurul Hakim