Epistemologi Eksistensial, Menciptakan Manusia yang Abadi
Bagi penikmat sejarah, mungkin tidak asing dengan peradaban Mesopotamia. Sebuah potret masa lalu yang menjadi embrio dari kehidupan masa kini, bahkan dalam beberapa hal dengan segala kemajuan teknologi, kita tak mampu mengungguli keahlian mereka. Dari hasil budaya mereka-lah, lahir konsep negara kota, dari mereka pula kiblat sistem sosial, pemerintahan, filsafat terbentuk.
Begitu pula dengan The Golden Age of Islam, masa keemasaan Islam dari abad ke-7 hingga abad-15. Pada masa itu, Damaskus menjadi teropong dan kiblat ilmu pengetahuan dunia.
Intinya, setiap peradaban lahir dengan warna pengetahuan tersendiri. Mengutip dari ungkapan Muzaffar Iqbal dalam karya masterpiece Toby Huff berjudul The Rise of Early Modern Science; Islam, China and West mengatakan; "different civilizations have produced distinctively different sciences", bahwa peradaban yang berbeda secara jelas akan melahirkan corak pengetahuan yang berbeda. Setiap peradaban itu, membawa corak pengetahuan bergantung pada kondisi sosial masyarakat di mana peradaban itu tercipta.
Dengan pencapaian dan kemajuan peradaban tersebut, saya mendapati kemajuan masyarakat dengan segala pencapaiannya lahir dari sebuah kesadaran tunggal yaitu budaya menulis atau tradisi komunitas ilmiah.
Menulis adalah kerja peradaban dan peradaban tidak akan lahir tanpa membaca dan menulis. Tokoh seperti Ibnu Sina dalam hidupnya melahirkan ratusan karya multidisiplin, al-Baqilani bahkan ceritanya tak akan tidur bila belum menulis 35 halaman setiap malam. Melalui karya, sejarah masa lalu dikenang, begitupula dengan manusia.
Kehidupan manusia itu terbatas, namun karya hasil pemikiran akan abadi tak lekang oleh waktu. Yang mampu mengubah manusia adalah pengalaman dan membaca, dengan pengalaman manusia akan dewasa, dengan karya manusia akan dihargai oleh Tuhan dan seisi makhluk.
Pesan pertama Tuhan kepada manusia adalah membaca, tradisi keabadian adalah menulis. Maka, membaca dan menulis artinya melanjutkan pesan tuhan dan menuangkan hasil bacaan adalah rekognisi pencipta berupa keabadian.
Menulis itu adalah derajat paling tinggi dari sistem masyarakat karena ia berisi doktrin yang hanya dapat mengubah takdir dan perjalanan sejarah manusia. Lewat karya revolusi itu tercipta. Maka, bagi saya keabadian manusia bila tradisi membaca dan menulis terbangun dengan baik.
Kembali pada aspek relasional peradaban, hampir peradaban besar dunia secara demografis dekat dengan perairan. Seperti saya sebutkan di atas, peradaban Mesopotamia adalah peradaban yang hadir di sepanjang sungai Eufrat dan Tigris, Irak saat ini. Begitu pula, peradaban Mesir, hadir di sepanjang sungai Nil.
Pusat peradaban selanjutnya, Baghdad dan Damaskus pun, mengikuti jalur aliran sungai. Saya ingin membangun sebuah paradigma baru, jika hari-hari ini, peradaban yang pernah lahir di daerah perairan itu hanya menyisakan peninggalan, maka satu-satunya harapan bahwa peradaban selanjutnya lahir di bumi Nusantara.
Bagi saya, Nusantara ditakdirkan untuk menjadi sentra peradaban timur selanjutnya. Meskipun ini hanya sebatas imajinasi, karena kita belum memiliki modal sosial berupa tradisi ilmiah.
Minat baca dan menulis kita masih jauh tertinggal dengan negara lain. Berbanding terbalik dengan fakta bahwa kita menjadi salah satu negara pengguna internet terbesar dunia. Modal peradaban kita sudah miliki, kemudahan berupa akses informasi kita genggam kenapa justru dengan modal itu nampaknya kita justru menempuh jalan mundur?
Menurut saya, generasi kita tidak hidup dalam lingkungan tradisi membaca dan menulis sehingga yang hadir adalah generasi Dilan, yaitu generasi yang terbenam dalam romansa romantisme sekolahan tak sedikitpun bernilai edukatif.
Generasi Dilan adalah representasi pengemban peradaban hari ini, berciri budaya konsumtif. Sekali lagi, takdir berpihak pada kita, namun untuk mewujudkan itu dibutuhkan ramuan yang rumit.
Peradaban Nusantara akan hadir apabila, di setiap rumah terdapat rak-rak buku, di tempat umum berkumpul pemuda yang antusias berdiskusi, menuangkan hasil pikiran melalui tulisan di mana setiap diksi, paragraf mencerminkan pemikiran brilian.
Kerja-Kerja Keabadian
Fitrah dasar manusia adalah ingin terus hidup abadi, diingat dan diagungkan sejarah. Kaisar-kaisar China masa lampau meracik ramuan khusus agar abadi. Namun, semua itu sia-sia, mereka lupa bahwa kita sama dengan sebatang pohon seperti tunas, kemudian membesar, layu dan mati. Ada saatnya, kita kuat, saatnya nanti kita rapuh tak berdaya.
Apabila manusia itu ingin abadi, maka tuangkan pemikiran anda dalam tulisan. Menulis akan mengukur seberapa jauh kemampuan kita karena ia mewakili semesta khazahah yang dibaca dan pengalaman hidup. Dari karya, orang lain akan belajar perjalanan hidup kita, melalui karya pula, kita selalu ada dalam sejarah.
Tanpa karya, manusia hanya meninggalkan nama. Dengan karya, nama akan mengema sepanjang masa, menjadi pelajaran bagi generasi selanjutnya. Kita mengenal Buya Hamka, tak lain karena karya-karyanya yang agung, begitupula kita mengetahui makna perjuangan dari Soe Hok Gie, Pramoedya Ananta Toer, atau Tan Malaka serta tokoh lain.
Nama-nama itu akan terus abadi melintasi generasi, karyanya akan menjadi pegangan hidup, makna perjuangan sesungguhnya. Nama mereka telah tertulis dalam tinta emas sejarah, tergores indah di lembaran pertama kehidupan.
Artikel ini pernah diterbitkan di Qureta.com