Mencegah Potensi Timbulnya Kekacauan Sosial
Saya mengajak agar kita semua tenang, dan jangan panik. Saya paham, yang disebut wabah, di mana-mana membikin kita semua kacau. Betapa tidak, belum genap satu bulan pandemi Covid-19 di Indonesia telah menjangkiti ribuan orang; penularannya tak pandang bulu, siapa saja bisa jadi korban keganasannya. Belum berakhir di situ, pandemi ini ditakutkan akan makin “menggurita”, meruntuhkan ekonomi negara. Saya tidak ingin berspekulan, tapi memang benar adanya.
Saya tidak takut, bila proyeksi ekonomi negara menurun, karena hal tersebut merupakan beban pemerintah. Anda dan semua kita musti percaya, kalau tidak, anda akan menaruh optimisme “kenegarawanan” anda ke mana? Intinya, percaya dan optimis, semua pasti akan baik-baik saja. All is well..
Terus yang saya khawatirkan apa? Begini, mendadak saya menyaksikan liputan real-time dari kanal 60 News Australia, sebuah kanal berita paling kredibel di negeri Kanguru. Judulnya “Dampak Korona di Italia”. Di tengah liputan, ada seorang dokter yang diwawancarai; Kenapa begitu banyak korban di Lombardi, Italia. Sang dokter mengatakan, pemerintah memang terlambat merespon pandemi, ketahuilah kami (tim dokter) begitu sedih dan tidak mampu berbuat apa-apa, korban di sini terus meningkat.
Setiap hari ratusan pasien pandemi Corona meninggal dunia, kami dokter, tidak tahu harus bagaimana lagi. Ini baru cerita dari sang dokter. Saya makin khawatir, ketika pemerintah di beberapa negara tidak mampu menyuplai kebutuhan keseharian. Orang pada bertikai memperebutkan sayuran.
Apa mungkin kondisi kita akan sama dengan negara yang lebih dulu terkena wabah? Atau pertanyaan lain, apa mungkin negeri loh jenawi ini kekurangan sayur-mayur? Ini mungkin menurut anda, tapi kalau bicara kemungkinan, ya bisa saja terjadi.
Tapi, bukan itu yang saya maksudkan. Ingat satu hal, Masyarakat multikultural seperti Indonesia paling berpotensi terjadi konflik sosial, bukan saja dilatari oleh agama, suku dan ras tapi juga Pandemi, termasuk Corona ini.
Masyarakat kita kalau sudah “takut” massal, pasti potensi konflik makin mencuat. Bagaimana jadinya, jika terjadi kasus “ada orang yang meninggal di duga Corona”, waduuh bisa jadi tak ada yang menguburkan atau menyalatkan. Atau begini, kondisi pandemi di wilayah kita berada pada puncaknya, di mana harga kebutuhan pokok mulai meninggi, pun dengan pasokan kebutuhan-kebutuhan pokok lainnnya. Akibat, Pembatasan secara besar-besaran. Wah, saya tidak bisa bayangkan. Yang jelas, menakutkan..
Saya lanjutkan soal potensi konflik, konflik dapat diartikan sebagai suatu yang melekat dalam kehidupan manusia, ketika berinteraksi, berkomunikasi dan menjalin hubungan dengan berbagai pihak dalam berbagai kondisi dan peristiwa.